Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor
Pada tahun 1980, diatas tanah milik Pemerintah Daerah seluas 5 hektar (50.000 m2) didaerah Cilendek Kelurahan Menteng Kecamatan Bogor Barat, Didirikan tahap awal bangunan satu lantai seluas 990m2 yang direncanakan sebagai Unit Gawat Darurat. Pihak Yayasan Karya Bhakti (YKB) yang bergerak dalam bidang sosial dan perumahsakitan kerja sama dengan Pemda Kota Bogor dalam rangka pengelolaan rumah sakit diawali dengan pemanfaatan gedung yang telah dibangun sebagai Rumah Sakit Gawat Darurat.
Pada peresmian RSUD 7 Agustus 2014 lalu, Walikota Bogor, Bima Arya berharap supaya di masa peralihan dari RS Karya Bakti menjadi RSUD, pelayanan medis harus bisa tetap berjalan normal. Juga tidak ada pemutusan hubungan kerja bagi seluruh pegawai, baik tenaga medis maupun tenaga non medis.Sebuah harapan yang wajar, karena sulit dibayangkan apa yang akan terjadi apabila rumah sakit itu tiba-tiba menghentikan sementara pelayanan medisnya. Maklum, rumah sakit yang sebelumnya bernama RS Karya Bakti itu sudah sangat akrab dan dibutuhkan oleh sebagian warga Kota Bogor dan sekitarnya.“Alhamdulillah sejauh ini kedua harapan itu tercapai, pelayanana berjalan normal dan pegawai masih lengkap” kata Ahmad Yani, Kabag Umum dan Kepegawaian RSUD Kota Bogor. Pasien yang datang baik warga kota maupun kabupaten masih tetap terlayani. Mulai dari pasien penderita penyakit tergolong ringan sampai dengan penyakit yang tergolong berat. Seperti diantaranya pasien penderita Gulian Barre Syndrome (GBS) yang butuh penanganan intensif dan perawatan dalam kurun waktu cukup panjang. Begitupun pasien peserta BPJS. Bahkan menurut Ahmad Yani, lebih dari 80% pasien yang berobat jalan maupun yang rawat inap adalah peserta BPJS.
Sementara itu dari jumlah tenaga kerja yang tetap bertahan, belum ada satu pun yang di-PHK. Saat ini jumlah tenaga kerja, baik tenaga medis maupun non medis tercatat sebanyak 525 orang. “Sebagian besar mereka adalah non PNS, karena PNS-nya hanya 18 orang,” papar Ahmad Yani, Kasi Pembinaan dan Pengendalian Sarana Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bogor yang dipindah-tugas ke RSUD.
Jadi inilah rumah sakit milik pemerintah daerah yang saat ini sebagian besar pegawainya tergolong pegawai non PNS. Berbeda dengan kebanyakan RSUD yang sudah beroperasi termasuk di wilayah sekitar Bogor, yang sebagian besar pegawainya adalah PNS.
Masa Transisi
Masa transisi atau masa peralihan dari rumah sakit yang tadinya dikelola dengan pengelolaan manajemen swasta menjadi RSUD, memang merupakan masa yang relatif sulit dihadapi. Disatu sisi RSUD berkewajiban mengutamakan pelayanan sosial kepada masyarakat, tetapi di sisi lain mereka harus bisa menggaji pegawai dengan standar swasta.
Kondisi itulah yang menarik untuk ditengok, supaya semua pihak bisa lebih mengenal dan memahami apa sesungguhnya yang terjadi di balik pelayanan medis RSUD. Sisi ini perlu diketahui dan dipahami, supaya siapapun bisa juga memahami dan dapat bersikap bijak dalam memaklumi apa yang ditetapkan dan dilakukan manajemen RSUD dalam memberikan pelayanan medis.
Salah satu tantangan yang saat ini dihadapi manajemen RSUD tergambar dari apa yang disampaikan Ahmad Yani. “Pegawai di semua lini harus mengubah paradigma, dari pegawai swasta murni menjadi pegawai sebuah RSUD yang berkewajiban mengedepankan pelayanan sosial,” katanya. Sikap bertahan dan pola pikir seorang pegawai yang tidak mau berubah, akan sangat menyulitkan proses pemberian pelayanan kepada pasien.
Di masa transisi ini, manajemen RSUD juga menghadapi tuntutan untuk segera menyusun standar pelayanan medis atau sejenis SOP. Mereka perlu menyusun standar dalam melayani pasien. “Perlu dibuat standar tertentu bagi suatu penyakit yang diderita pasien, obatnya apa, waktu perwatannya diperkirakan berapa lama dan tindakan medis apa yang diperkirakan diperlukan oleh seorang pasien. Itu semua harus dibakukan,” papar Ahmad Yani.
Kemudian juga harus ada penyesuaian antara tarif pelayanan medis yang ditetapkan RSUD dengan tarif yang ditetapkan dalam BPJS. Saat ini masih ada kesenjangan cukup lebar antara tarif yang diberlakukan di RSUD dengan tarif BPJS yang mengacu pada tarif Indonesian Case Based Groups (INA CBGs).
Kalau tarif tidak disesuaikan, tentunya RSUD harus bisa nombok atau mensubsidi setiap biaya yang dibutuhkan oleh seorang pasien. Sebab klaim yang diajukan ke pengelola BPJS lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan bagi seorang pasien. Dengan kesenjangan tarif yang masih cukup lebar, maka tentu saja subsidi yang perlu dikeluarkan bagi setiap pasien sangat besar. Apalagi dengan kenyataan, lebih dari 80% pasien yang datang, merupakan peserta BPJS.
Sementara itu, subsidi APBD bagi operasional RSUD tampaknya juga masih harus ditambah. Sebagai contoh, subsidi untuk biaya pembelian obat setahun relatif sangat jauh dari jumlah yang dibutuhkan per bulan. Ini merupakan pekerjaaan rumah tersendiri bagi Pemerintah dan DPRD Kota Bogor untuk merumuskan subsidi yang proporsional yang perlu diberikan pada RSUD.
“Soal tarif sebetulnya hanya salah satu aspek yang perlu kami benahi, dan masih banyak aspek lainnya yang harus mendapat perhatian, seperti halnya perawatan sarana dan prasarana yang ada,” lanjut Gunadi Kabag Keuangan RSUD Kota Bogor. Itulah sebabnya, manajemen RSUD saat ini sedang berancang-ancang untuk menyusun Rencana Induk Pengembangan Rumah Sakit untuk 20 tahun kedepan.
Rencana induk inilah yang akan dipergunakan untuk mengembangkan RSUD Kota Bogor sebagai sebuah lembaga pelayanan kesehatan yang dikelola secara swasta tetapi memikul tanggungjawab sekaligus sebagai lembaga pelayanan sosial. Kedua sisi inilah yang harus bisa diseimbangkan dan saat ini di masa transisi, rupanya RSUD Kota Bogor tengah mencari dimana titik keseimbangan itu berada.(Humas)